Friday, 7 May 2010

"The Saint who walks" - Father of Serbia Patriach Pavle



"The Saint Who Walks"
"I am said to be leading the Serbs into a war for the preservation of Great Serbia.
However, if the preservation of Great Serbia requires crime -- I refuse it, may Great Serbia be gone.
If the preservation of little Serbia requires crime -- again, I refuse it, may little Serbia be gone.
If the preservation of even a single Serb requires crime -- again, I refuse it, may all of us be gone."

Lahir pada tanggal 11 September 1914 , beliau telah ditakdirkan menjadi pemimpin rohani seluruh orang Serbia Orthodox, beliau lahir di desa Kucani distri Donji Miholjac,  Slavonija, yang pada saat itu merupakan bagian kekaisaran Austro Hungaria, yang kini Kroasia.

Nama baptisnya adalah Goyko, lahir dari orang tua bernama Stefan dan Ann Stojcevic. Ia dibesarkan oleh bibinya yang memberinya pendidikan yang sangat baik.
Selama Perang Dunia II, ia harus melarikan diri ke rumah masa kecilnya, dan mencari perlindungan di biara Tritunggal Mahakudus di Ovcar. Dia kemudian mengambil kaul monastik di Biara Blagovestenje juga di Ovcar, di mana ia mengambil nama monastik Pavle (Paul).


Ia terpilih  menjadi Uskup Ras dan Prizren ( yang mencakup seluruh Kosovo ) pada tahun 1957 dan memegang posisi tersebut selama 33 tahun sebelum terpilih menjadi Patriarch tahun 1990





Patriarch Pavle was deply pained by the Mammonic spirit that became dominant in Serbia in the aftermath of the collapse of communism: “I wish I could stand and beg outside the banqueting halls and other gathering venues of the rich, beg for our poor brothers and sisters and their children. We should actively shame those who sink into arrogant greed so openly, instead of expressing our anguish behind closed doors.” His proverbial modesty was reflected in his use of public transport and dislike of chauffeur-driven cars. During the Assembly of Bishops in 2006 he walked our of the Patriarchate and saw a long line of shiny black Mercedes-Benz, Audi and BMW cars parked outside the building. “Who do these belong to?” Pavle asked his secretary. “Em, to the Bishops who came to the Assembly, Your Grace.” “I only wonder,” the Patriarch commented, “what would they have driven if they had not taken the vow of poverty…”
Serbia was blessed with several politically astute Patriarchs in some critical moments of its history, notably Arsenije III (Charnojevich) at the time of the Turkish wars and Great Migration of 1690, and Gavrilo (Dozhich) during World War II.
+Patriarch Pavle , Metropolitan Christopher of Libertyville, IL St. Sava Monastery, 
+pokojni Bishop Stefan of Zica; behind the Patriarch is Bishop Irinej of Nis, the CURRENT Patriarch

Patriarch Pavle belonged to a different tradition. He was a mystically prayerful monk, rather than a sanguine Prince of the Church. He was a Patriarch who blended, harmoniously, three key functions of his throne: that of the father, of the priest, and of the prophet. He understood, and lived, the legacy of Prince Lazar, martyred at Kosovo in 1389: “The Kingdom on Earth is but paltry and small; yet the Kingdom of Heaven is forever and knows no bounds.


Testimony for the fallen in sleep +Patriarch Pavle from Ecumenical Patriarchate of Constaninople:

"His face and appearance were radiant with holiness and righteousness. He was a true monk, a man of endless prayers, kind and calm but also a fighter who does not back down and is ready for any sacrifice when needed."
"People of Serbia, begin weeping, sobbing bitterly and expressing your sorrow according to his merit, a theologian of broad knowledge, a merciful, peaceful man of open views." 
Patriarch Batholemew I  


 Some pictures of the funeral + Patriarch Pavle








"Patriarch Pavle's death is no reason to be sad because the Patriarch always had sought to reach out to God. He has been more in heaven than on earth. The Serbian people now have someone to represent them before God better than anyone else."  


 + Patriarch Pavle
(1914-2009)

"Let us guard against inhumans, 
but let us guard even more against becoming inhuman ourselves." 
+ Patriarch Pavle

Patriark Pavle: Seorang Santo Yang Berjalan Kaki

oleh Danny Abbott

Umat Kristen Orthodox kehilangan seorang uskup yang tak kenal takut dengan kematian Patriark Pavle pada tanggal 15 November, pemimpin dari Gereja Orthodox Serbia yang memimpin sekian lamanya. Seorang dengan kerendahan hati luarbiasa dan suara yang tak kenal lelah mendengungkan perdamaian di Balkan, ia dikenal luas oleh sebangsa dan setanah airnya, bangsa Serbia, dan banyak yang lainnya sebagai seorang santo yang hidup.

Lahir dengan nama Gojko Stojcević di Kroasia, dan telah menjadi yatim piatu, ia diasuh oleh bibinya. Ia lulus dari sebuah gymnasium (sekolah senam) di Belgrade, kemudian kuliah di seminari Sarajevo. Pada masa Perang Dunia II, ia mengungsi di Biara Tritunggal Mahakudus Ovcar. Setelah perang itu, ia bekerja sebagai pekerja konstruksi di Belgrade, kemudian memasuki kehidupan monastik di biara Blagoveštenje di Ovcar dimana ia memakai nama Pavle. Ia mengajar di Seminari Prizen, kemudian pergi ke Athena mempelajari Perjanjian Baru dan Liturgi selama dua tahun, dan menulis begitu banyak hal yang terkait dengan Liturgi.

Pada tahun 1957, ia ditahbis arkhimandrit dan berikutnya di tahun itu dikonsekrasi sebagi uskup Keuskupan Raška and Prizen. Di masa ini, ia mulai berbicara mengenai munculnya masalah di wilayah Balkan dan kondisi buruk yang terjadi di Kosovo. Pada tahun 1990, ia menjadi Patriark. (lembaran-lembaran kertas berisi nama-nama dari tiga calon diletakkan di atas altar. Dua tertiup pergi [dia saja yang tersisa; dengan demikian dia terpilih]).

Satu dari sekian banyak tanda keketatannya pada komitmennya untuk kehidupan asketis adalah penolakannya untuk memiliki atau menggunakan mobil. Ia menegaskan bahwa ia akan memiliki mobil pribadi hanya setelah dia menjadi orang yang terakhir di Kosovo yang tidak punya mobil. Hasilnya, ia seringkali disebut sebagai “santo yang berjalan kaki.” Sebagai Patriark, Pavle seringkali terlambat untuk mengunjungi paroki karena ia bersikeras untuk memakai bis.

Pada tahun 1989, di saat hubungan antara etnis Albania dan Serbia bertambah tegang, ia didera oleh sekelompok orang Albania dan diopname beberapa bulan lamanya. Ia menolak untuk menuntut balik para penyerang itu.

Di tahun-tahun penuh konflik yang buruk di Balkan, tekanan pihak barat, yang mengabaikan kata-kata dan tindakan Pavle, seringkali menuduhnya tidak mampu mengatasi nasionalisme bangsa Serbia yang tak terkendalikan.

“Jikalau kita hidup sebagai umat Allah,” katanya dalam sebuah pernyataan yang tidak dipublikasikan secara luas, “ada ruang bagi semua bangsa di Balkan dan di dunia. Jika kita menyamakan diri kita dengan Kain yang membunuh adiknya Habel, maka segenap dunia ini akan sangat kecil bahkan untuk dua orang. Tuhan Yesus Kristus mengajar kita untuk senantiasa menjadi anak-anak Allah dan mengasihi sesama manusia.”

Keinginan Pavle bagi perdamaian antar etnis di wilayah Balkan jelas dan nyata kepada semua yang mengenal atau yang bertemu dengannya. Ketika Jim Forest, sebagai sekretaris dari Persahabatan Damai Orthodox, pertama kali bertemu dengannya pada tahun 1994, Pavle mengingat kembali persahabatannya yang langgeng bersama dengan orang Yahudi dan Muslim di masa mudanya, secara khusus ketika ia tinggal di Sarajevo. Ia menegaskan kesediaannya “kapanpun itu” untuk bertemu dengan siapa saja yang dapat membantu membawa Balkan “satu sentimeter lebih dekat kepada perdamaian.”

Sementara ada imam bangsa Serbia yang menjadi partisan dalam konflik yang memecah Yugoslavia, Pavle tidak pernah memaafkan atau mengesahkan siapa saja untuk ikut serta dengan kelompok manapun yang mencucurkan darah atau perkenanan dukungan imam manapun pada senjata siapapun itu. Ia menyatakan pada tahun 1995, “berkenaan pada kejadian yang tiada henti terjadi pada republik-republik pecahan Yugoslavia, perkenaan atas senjata hanya dapat dianggap atau diterima sebagai dukungan penggunaan senjata dalam sebuah perang fratricidal.

Pada sebuah kesempatan ia melanggar tradisi kenetralan (ketakberpihakan) Gereja berkenaan pada masalah pemerintahan dengan terang-terangan menentang Milošević.

Di awal tahun 90-an, Vuk Drašković, kini menjabat Wakil Perdana Mentri Serbia, adalah diantara politisi-politisi pertama Serbia yang menyalahkan pemerintahan Milošević sebagai kejahatan perang. Ia dan istrinya dianiaya dengan sangat keji dan dipenjarakan karena pendirian mereka. Pada tahun 1993, Pavle menulis surat kepada Milošević meminta pembebasan Drašković’. Pada tahun 1997, sang Patriark memimpin suatu barisan anti pemerintah, yang mencegah serangan polisi pada pemrotes para pelajar.

Tahun 2000, Pavle menyerukan kepada Slobodan Milošević untuk mundur. Segera setelah pemerintahan pimpinan Milošević digeser dari kekuasaan, Pavle disambut pemerintahan baru.

Kontribusi Patriark Pavle kepada Gereja Orthodox tak terkira banyaknya. Jumlah bahan yang ia tulis pada berbagai topik seperti liturgi dan pesta-pesta perayaan tersebar dalam berbagai buku. Selain itu, ia mengawasi sebuah penterjemahan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Serbia tahun 1984. Ia mampu merekatkan kembali skisma Gereja Serbia dengan Gereja Orthodox Serbia Bebas dan tanpa kenal lelah berupaya untuk merekatkan skisma dengan Gereja Orthodox Makedonia.

Dua tahun kehidupan Pavle yang tersisa dilewatkan di rumah sakit sementara tugas-tugasnya dijalankan oleh Metropolitan Amfilohije. Kematian Patriark Pavle diikuti oleh masa berkabung nasional selama tiga hari.

Setelah kematiannya, ucapan belasungkawa dikirim oleh Paus Banediktus, para pemimpin Yahudi dan Muslim, dan para pemimpin yang mewakili segenap dunia Orthodox. Patriark Bartholomeus dari Konstantinopel berkata: “Tak seorangpun di era hiruk pikuk ini yang berbicara begitu lembut dan yang didengarkan begitu luasnya sebagaimana dia. Tak seorangpun yang berbicara sedikit namun mengatakan lebih. Tak seorangpun di abad penuh hayal kita ini yang meramu kebenaran dengan kelembutan seperti dia.”

Danny Abbott menerima gelar hukumnya dari Universitas Arkansas. Ia adalah anggota dari Gereja Kristen Orthodox St. Elizabeth Martir Baru di Murfreesboro Tennessee.

No comments:

Post a Comment